Home » , , » Penyakit Kuru, Penyakit Langka Akibat Kanibalisme

Penyakit Kuru, Penyakit Langka Akibat Kanibalisme


Apakah Anda pernah mendengar penyakit kuru? Mungkin hanya sedikit dari Anda yang mengetahui istilah kuru ini. Namun untuk istilah kanibalisme sebagian besar dari Anda pasti setidaknya pernah mendengar. Kanibalisme merupakan sebuah fenomena di mana satu makhluk hidup makan makhluk sejenis lainnya, misalkan anjing yang makan anjing atau manusia yang makan manusia.Kadang-kadang fenomena ini disebut anthropophagus (Bahasa Yunani anthrôpos: manusia dan phagein: makan). Seperti cerita pendek yang telah saya tulis sebelumnya mengenai prion, penyakit kuru ini memang berkaitan erat dengan prion. 

Mengenal Kuru

Kuru adalah suatu penyakit fatal yang dihasilkan dari suatu budaya, yang menyerang otak dan sistem saraf yang ditemukan di Fore Selatan penduduk Pegunungan Papua Nugini bagian timur. Bukti sekarang menunjukkan prion sebagai penyebabnya. Gejala-gejalanya termasuk kelumpuhan, kontraksinya otot wajah, dan kehilangan pengendalian motorik yang menghasilkan ketidakmampuan untuk berjalan dan makan. Korban kuru menjadi kurus secara progresif. Penduduk Fore Selatan menyebut penyakit ini “penyakit gemetaran (trembling sickness)” dan “penyakit tertawa (laughing sickness).” Gambaran penyakit tertawa karena buktinya bahwa otot-otot wajah dari korban tertarik sehingga terlihat seperti suatu senyuman. Kematian hampir selalu terjadi 6-12 bulan sebagai onset gejala.


Kuru pertama kali didokumentasikan di antara penduduk Fore Selatan pada awal abad ke-20 dan secara progresif menjadi semakin lazim pada 1950an. Puncaknya, paling banyak menimpa wanita-wanita berumur 20an dan 30an. Ini menyebabkan masalah-masalah sosial. Normalnya, pria mempunyai beberapa istri dan anak-anak dirawat oleh wanita. Namun karena penyakit ini, terlalu sedikit wanita-wanita yang bisa menikah dan pria-pria ditinggalkan dengan kewajiban merawat anak. Para pria benci dan bingung dengan situasi ini. Akhirnya penduduk Fore Selatan mempunyai suatu penjelasan sendiri untuk penyakit ini, mereka secara logis mengasumsikan bahwa Kuru adalah pekerjaan penyihir yang menggunakan sihir menular. Jadi, penduduk menjadi sangat hati-hati membersihkan bagian-bagian rumahnya untuk meyakinkan bahwa penyihir tidak bisa mendapatkan rambut, potongan kuku jari, feses, atau kepunyaan pribadi. Di belakang rumah, wanita yang sakit kadang-kadang menyatakan identitas penyerang mereka yang dikatakan datang ke mimpi. Selain itu, kaum pria juga membuat suatu tes untuk menentukan identitas si penyihir, yang sering menyebabkan tekanan baru ketika tes itu menyatakan penyihir itu mungkin tetangga dekat atau saudara. 


Perburuan penyihir diatur dan penyihir tadi dipaksa mengakui dan kemudian diwajibkan mengikuti pemujaan anti sihir. Kepala suku mengusulkan agar mereka melaporkan kepada kiap (kepala pemerintahan kolonial) bahwa ada orang yang sedang membunuh kaum wanita mereka. Kemudian mereka menyarankan agar semua orang diajak ke suatu tempat terpencil dan meninggalkan wanita-wanita itu beserta anak-anak. Setelah beberapa waktu mereka berada di tempat terpencil tersebut, mereka akan kembali melihat apakah kuru telah hilang atau tidak. Tidak ada satupun dari langkah-langkah ini memperlambat peningkatan jumlah korban Kuru. Mereka melihat ada suatu masalah di sini. Biasanya jika orang-orang marah hanya akan membunuh satu orang, menghancurkan anjingnya, atau memotong pohon-pohon pisangnya. Cukup satu hal yang dilakukan, tetapi kuru menyerang secara berlebihan.

Awal 1950an, sebuah tim dokter Australia mulai bekerja untuk menemukan apa yang menyebabkan kuru dengan harapan menemukan cara penyembuhan. Antropologis mencari jejak kasus-kasus penyakit di dalam garis keluarga untuk melihat jika itu adalah penyakit keturunan. Pekerja-pekerja bidang lain mengumpulkan air, tanah, tumbuhan, dan spesimen binatang untuk mengetes racun dari lingkungan. Semua usaha ini gagal. Akhir 1950an, seorang dokter anak Amerika benama Carleton Gajdusek datang ke Papua Nugini untuk mencoba menyelesaikan masalah. Melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan dari orang yang meninggal karena kuru, dia menemukan bahwa penyakit dibawa di darah dan dikonsentrasikan di jaringan otak. Transmisinya melalui kanibalisme. Penduduk Fore Selatan makan kerabat mereka yang telah meninggal. Wanita memotong jenazah dan sebagai kanibal utama. Mereka juga memberikan daging ini kepada anak-anak mereka. Pria-pria secara umum berpikir bahwa itu bukan kebiasaan tindakan seorang pria sehingga biasanya mereka makan babi.

Awal tahun 1960an, kanibalisme merupakan pelanggaran hukum di Papua Nugini. Sejak itu, jumlah kuru telah turun secara signifikan tetapi belum begitu terlihat karena merupakan penyakit yang memerlukan masa inkubasi sangat panjang. Antara 1996 dan 2004, 11 orang didiagnosis kuru. Tampak di sini, mereka dilahirkan sebelum 1950 dan telah mengidap kuru sebelum akhir kanibalisme. Ini berarti masa inkubasinya 34-41 tahun.

Kesimpulan


Kuru adalah salah satu contoh penyakit yang berhubungan dengan kebudayaan. Banyak contoh-contoh kebudayaan lain yang bisa menyebabkan penyakit selain kuru ini. Oleh sebab itu, penting sekali para tenaga medis untuk berpikir secara holistik dalam penanganan suatu penyakit karena ada banyak hal yang berhubungan dengan terjadinya suatu penyakit.

0 comments:

Post a Comment